Hai, apa kabarmu? Semoga sehat dan dikaruniai berkat yang cukup untuk selalu berbuat baik dan terhindar dari kejengkelan-kejengkelan.
Jengkel biasanya hadir karena kita mendapati kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Bisa dua penyebabnya. Harapan kita terlalu tinggi atau upaya kita mencapai sesuatu terlalu rendah.
Kejengkelan menghadirkan sikap tidak terima terhadap apa yang terjadi. Uring-uringan adalah turunan sikap jengkel karena belum bisa menerima kenyataan.
Empat bulan terakhir, karena situasi yang berubah disebabkan pandemi, kita pasti kerap jengkel disertai uring-uringan. Banyak kenyataan yang kita jumpai tidak sesuai dengan harapan kita semula atau rencana sebelumnya.
Jika kenyataan tidak bisa diperbaiki, menata kembali atau mengubah kembali harapan di sesuaikan dengan realita adalah jalan terbaiknya. Ini baik untuk kesehatan jiwa juga. Banyak hal terjadi di luar kendali kita. Semesta mengajarkan ini akhir-akhir ini.
Oya, ngomong-ngomong soal akhir, Juni sudah masuk di pengujungnya. Juni seperti melambai-lambaikan tangan perpisahan untuk memberi tempat kepada Juli yang mengintip di depan pintu.
Tak terasa, Juni akan menghilang. Tempus fugit. Waktu seperti terbang dan saya tersadar belum banyak melakukan upaya-upaya baik di rentang waktu yang sudah terbang, pergi, dan menghilang.
Kesadaran itu menyentak juga setelah pada Minggu (28/6/2020) malam, saya menyimak video arahan Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara yang diunggah di kanal Youtube Sekretariat Presiden. Presiden Jokowi memimpin rapat kabinet paripurna di Istana Bogor, Selasa (11/2/2020).(KOMPAS.com/Ihsanuddin)
Kamu tahu bedanya rapat-rapat di Istana kan? Rapat kabinet paripurna itu rapat yang dihadiri semua anggota kabinet dan kepala lembaga negara. Jumlah pesertanya jauh lebih besar.
Saat rapat kabinet paripurna, parkiran Istana Kepresidenan mirip seperti mal besar pusat kota di akhir pekan: susah cari parkir. Satu pejabat satu sedan adalah penyebabnya. Belum mobil pengawal, mobil ajudan dan mobil pengiringnya. Padat, seperti terminal kadang-kadang.
Rapat kabinet paripurna ini berbeda dengan rapat kabinet, apalagi rapat kabinet terbatas. Selain dari sisi jumlah peserta, rapat kabinet paripurna biasanya digelar untuk mengambil keputusan.
Kembali ke arahan Presiden yang di unggah di ujung pekan di akhir bulan Juni, bulan lahirnya Presiden Jokowi.
Arahan itu menarik perhatian karena sebelumnya saya membaca berita mengenai kejengkelan Presiden kepada pembantunya, kepada pemimpin lembaga negara dan kepada pemilik otoritas di bawah kendalinya.
Arahan itu ringkas, jelas, tepat sasaran dan disampaikan dengan nada penuh ketegangan. Amat jarang mendapati kejengkelan seperti yang disampaikan pada 18 Juni 2020, tiga hari sebelum Jokowi berulang tahun.
Perlu waktu 10 hari bagi Sekretariat Presiden untuk mengunggah video itu. Ada alasan kenapa jeda diberikan cukup lama. Menurut otoritas di Istana, jeda ini muncul karena arahan Presiden tersebut awalnya bersifat tertutup.
Namun, karena dirasa publik perlu juga mengetahui, Sekretariat Presiden lantas mengunggah arahan yang semula disampaikan untuk kepentingan internal saja pada 28 Juni 2020. Masuk akal alasannya.
Saya melihatnya sedikit berbeda. Selang 10 hari waktu adalah jeda yang diberikan Presiden untuk adanya perubahan, kamajuan dan langkah-langkah progresif yang diharapkan seperti diungkapkan tanpa banyak ekspresi di dalam arahan.
Lantaran selama jeda itu tidak juga didapati perubahan, kemajuan dan langkah-langkah progresif yang diharapkan, rekaman video diunggah sebagai peringatan.
Peringatan kepada siapa? Kepada para menteri dan kepala lembaga negara sebagai peringatan kedua setelah pertama kali mendengarnya langsung dalam hening dan sausana tidak nyaman penuh ketegangan di Istana Negara.
Apa yang disampaikan Presiden juga merupakan peringatan kepada rakyat yang sampai tiga kali disebut jumlahnya: 267 juta jiwa.
Apa peringatannya? Jokowi memperingatkan, tidak ada kemajuan yang berarti selama tiga bulan Indonesia menghadapi situasi krisis karena pandemi Covid-19. Warga berbelanja kebutuhan lebaran di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (22/5/2020). Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1441 H, pasar tradisional ramai dikunjungi warga meskipun dalam masa pandemi COVID-19, tanpa memperhatikan protokol kesehatan seperti memakai masker dan menjaga jarak.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)
"Saya harus ngomong apa adanya, gak ada progress (kemajuan) yang signifikan. Gak ada!" ujar Jokowi persis di tengah-tengah arahan sekitar 10 menit sambil cemberut.
Presiden tengah membutuhkan dukungan rakyat untuk langkah-langkah politik ke depan.
Jengkel di menit-menit awal
Kalau kamu menyimak rekaman video arahan itu Presiden itu, kamu akan segera menangkap perasaan jengkel di menit-menit pertama.
Ungkapan kejengkelan itu langsung mengemuka setelah gambar terakhir Gubernur Bank Indonesia menempati kursi yang disediakan untuknya.
Setelah 30 detik menyapa peserta rapat kabinet paripuran sekadarnya, Presiden langsung berbicara dengan nada tinggi. Dari awal sampai akhir tinggi. Tanpa banyak ekspresi di wajah kecuali cemberut dan ekspresi di tangah kecuali angkat tangan.
Arahan Presiden diakhiri dengan nada yang masih sama: tinggi, tanpa banyak ekspresi kecuali ekspresi jengkel.
Terbayang mulesnya ada dalam situasi seperti itu. Terutama tentu saja pihak-pihak yang disebutkan secara eksplisit yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan kementerian di bidang ekomomi yang banyak sekali.
Di bidang kesehatan misalnya, dari dana yang dianggarakan Rp 75 triliun untuk mengatasi situasi luar biasa karena pandemi, baru digunakan 1,53 persen.
Bantuan sosial untuk rakyat terdampak baru terbilang lumayan disalurkan. Stimulus ekonomi untuk usaha kecil, mengenah, dan besar tidak berjalan. Jika sebagian tenaga medis di Wisma Atlet sudah menerima insentif, berbeda halnya dengan tenaga medis di RSUD Ogan Ilir, Sumatra Selatan. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja )
Mendapati tidak adanya kemajuan langkah di bidang ekonomi, Presiden mengungkapkan kejengkelan dengan mengatakan, "Jangan biaakan mereka mati baru kita bantu. Tidak ada artinya!"
Peserta rapat kabinet paripurna hening. Sejumlah besar peserta rapat yang tadinya duduk dan menatap Presiden yang berbicara sambil berdiri di podium lantas menunduk.
Kini, 10 hari telah berlalu sejak kejengekelan Presiden dikemukakan langsung kepada para beberapa pembantunya yang dirasa bekerja biasa-biasa saja, normal-normal saja, padahal situasi krisis yang tengah dihadapi.
Para pembantu di kabinet tidak memiliki perasaan yang sama bahwa tengah menghadapi situasi krisis. Menurut Presiden, satu saja yang tidak memiliki perasaan sama alias bersikap biasa-biasa saja padalah sitausinya krisis, bisa berbahaya.
Mendapati situasi yang tidak sesuai dengan harapan ini, Presiden mengemukakan akan mempertaruhkan resputasi politiknya. Akan diambil langkah-langkah politik, langkah-langkah pemerintahan, dan langkah-langkah luar biasa (extraordinary).
Langkah-langkah luar biasa yang dipakai sebagai penutup arahan sekaligus ancaman adalah pembubaran lembaga, perombakan kabinet, dan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang lebih kuat.
Saya kerap langsung mengikuti rapat kabinet paripurna saat masih tugas sebagai wartawan di Istana Kepresidenan periode 2004-2009. Menyaksikan rapat kabinet paripurna via Youtube ini saja, saya bisa membayangkan bagaimana perasaan dan mulesnya peserta rapat.
Saya bisa membayangkan bagaimana situasi setelah arahan itu disampaikan dan Presiden pergi. Tanpa banyak suara, para menteri, kepala lembaga negara dan pejabat yang memiliki otoritas pasti segera pergi dengan wajah tertunduk melihat diri sambil mencocokkan dengan kejengkelan Presiden.
Kejengkelan Presiden yang disampaikan adalah upaya mendekatkan jarak antara harapan dengan kenyataan. Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019). Rapat kabinet terbatas tersebut membahas perkembangan penyusunan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc.(ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)
Kali ini, Presiden hendak mengubah kenyataan dengan membangunkan para pembantunya yang "bekerja sambil tetap tidur" karena tidak bersikap sesuai situasi krisis yang terjadi.
Jika upaya ini tidak berhasil, harapan tampaknya tidak langsung diturunkan, tetapi kenyataan akan diwujudkan dengan cara-cara luar biasa atau extraordinary.
Cara-cara itu seperti dinyatakan dalam arahan Presiden adalah membubarkan lembaga, merombak dan mengganti menteri dan menerbitkan perppu lagi.
Kini, tampaknya Presiden Jokowi menunggu jeda kedua setelah jeda 10 hari. Tidak tahu sampai berapa jeda sebelum cara-cara luar biasa akan diambil.
Harapan perlu didekatkan dengan kenyataan. Apalagi, ini harapan 267 juta rakyat Indonesia yang menitipkan amanahnya.
Satu orang jengkel saja sudah membuat mules bawahan yang mendengarnya di Istana Negara. Tidak terbayangkan jika 267 juta rakyat Indonesia jengkel bersama-sama. Bisa jadi mules nasional. |
--
Click Here to unsubscribe from this newsletter.