Hai apa kabar? November berganti Desember. Waktu berjalan dengan irama seperti sebelum-sebelumnya. Meskipun berjalan maju, kerap saya merasakan waktu seperti berulang juga.
Bagaimana rasa-merasamu soal waktu? Apakah maju? Apakah berulang seperti kerap saya rasakan? Jika merasakan waktu itu berulang, sebenarnya tidak ada maju, tidak ada mundur. Berputar-putar saja.
Rasa-merasa saya soal waktu ini diperkuat dengan apa yang terjadi minggu lalu. Kita tidak maju. Kita tidak mudur. Kita berputar-putar di persoalan yang sama dari hari ke hari.
Entah kabar gembira atau kabar buruk mendapati berita Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Kabar gembira bagi mereka yang selama ini menganggap KPK tidak berdaya di era revisi UU KPK dengan Ketua KPK Firli Bahuri. KPK ternyata masih bisa diharapkan di tengah kekecewaan yang tinggi. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (tengah) mengenakan baju tahanan seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (25/11/2020). KPK menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka setelah ditangkap di Bandara Soekarno Hatta terkait dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.(ANTARAFOTO/INDRIANTO EKO SUWARSO)
Kabar buruk bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua, khususnya bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan gerombolan yang terlibat dalam kasus korupsi ini.
Begitu mudahnya kejahatan ini terungkap dan pengungkapnnya membuat malu dan semoga membuat jeri serta jera. Kenapa semoga? Karena kasus demi kasus korupsi berulang tanpa efek jeri serta jera bagi penerusnya.
Bravo untuk kerja-kerja hening para penyidik KPK. Mereka bekerja di tengah minimnya kebanggaan kita pada kerja-kerja lembaga negara dan meluasnya dorongan untuk melupakan peran-peran baik negara.
Edhy Prabowo yang merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ditetapkan sebagai tersangka kasus suap izin tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya.
Selain Edhy, enam orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk di antaranya staf khusus Menteri KKP. Edhy diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan 100.000 dollar AS terkait izin ekspor lobster.
Saat penangkapan, Edhy, istri dan rombongan baru tiba di Tanah Air dari perjalanan ke Amerika Serikat. Bersama Edhy disita barang-barang belanjaan senilai Rp 750 juta di antaranya sepeda balap, sepatu, tas, jam tangan dan koper.
Kabar buruk untuk pemerintah ini bisa jadi pintu masuk memberi kabar baik ke rakyat jika tindakan cekatan, tepat dan memenuhi harapan rakyat dilakukan. Ajaibnya, hal ini tidak dilakukan.
Jelas-jelas tertangkap tangan dan dinyatakan sebagai tersangka kasus suap, Edhy malah mendapat puja dan puji.
Puja dan puji itu terlontar dari pejabat serba bisa dalam segala cuaca yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri KKP ad interim Luhut Binsar Panjaitan. Pada akhir bulan Juli 2019, Jokowi bersama menteri-menteri terkait seperti Menteri Pariwisata, Arief Yahya; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono; Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, dan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi bertolak ke Danau Toba dalam rangka kunjungan kerja untuk memastikan pengembangan pariwisata Danau Toba.(Dok. Kementerian Pariwisata)
Orang kepercayaan Presiden Jokowi itu menyebut Edhy sebagai orang baik dan ksatria. Baiklah. Baiklah. Baiklah.
Kita biarkan masuk kuping kiri lantas keluar kuping kanan pujian ini sambil menatap tembok di timur Pasar Beringharjo yang sudah dirobohkan dan pesannya lekat di ingatan kita, "Teruslah Bekerja Jangan Berharap pada Negara".
Tembok sisi timur Pasar Beringharjo bisa dirobohkan, tetapi tidak ingatan akan pesan yang kini makin relevan.
Oya, soal ingatan, beberapa hari lalu kita juga dikejutkan dengan berita meninggalnya legenda sepakbola Diego Maradona karena serangan jantung di usia ke-60.
Dunia berduka karena kepergian legenda yang berasal dari rakyat jelata dan menyentuh hati rakyat kebanyakan karena kiprahnya.
Meskipun raganya sirna, ingatan kita akan legenda tidak binasa. Saya misalnya masih ingat detil menunda berangkat sekolah karena menyaksikan Maradona berlaga di Piala Dunia 1986.
Banyak ingatan lain yang jumlahnya mungkin miliaran dan tetap hidup meskipun subyek ingatan itu sudah tiada. Untuk hal ini, saya percaya, siasat abadi di tengah fananya hidup kita adalah karya. Karya bisa dibuat di mana saja. Maradona membuatnya di dunia sepakbola. Patung dua legenda sepak bola dunia, Diego Maradona (kiri) asal Argentina dan Pele dari Brasil, menyongsong Copa Libertradores dan Copa Sudamericana pada 2018. Gambar diambil pada 20 Desember 2020 di Luque, Paraguay.(AFP/NORBERTO DUARTE)
Soal karya, pemerintah periode pertama menjadikannya sebagai slogan meskipun kini tidak lagi terdengar. Karena tidak lagi terdengar, banyak dari kita lupa atau tidak meletakannya dalam ingatan. Jika lupa, slogan itu adalah kerja, kerja, kerja.
Kamu bisa klik tautan di atas jika lupa dan ingin menyegarkan ingatan. Jika ingin melupakannya, abaikan tautannya tidak mengapa.
Tapi, sebelum mengambaikan, perlu diketahui, saat terpilih menjadi Presiden RI, Jokowi menjadi perhatian dunia dan masuk dalam pemberitaan media-media besar internasional karena capaiannya.
Mantan Wali Kota Solo yang belum lama masuk Jakarta itu dianggap sebagai sosok pemimpin yang merakyat karena berasal dari rakyat. Pujian yang sejatinya harapan itu disampaikan The Guardian, The New York Times, BBC, dan majalah Time.
Apakah sosok itu masih ada dan tercermin dari kebijakan-kebijakan di periode kedua, kita bisa berdebat tak habis-habis. Namun, mendapati meluasnya kekecewaan yang tercermin dari turunnya tingkat kepercayaan publik, kekhawatiran perlu diletakkan di periode kedua.
Kita belum banyak rujukan untuk membandingkan. Tapi dari pengalaman pemerintahan pascareformasi, periode kedua memang seperti menjadi kutukan. Ini dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014).
Dipilih langsung oleh rakyat dengan harapan tinggi karena berasal dari rakyat, pemerintahan dan partai yang dijadikan pijakan, harapan dan gilang gemilang di awal berkahir tragis di periode kedua.
Banyak analisis soal ini. Tetapi, faktor pertama dan terutama adalah korupsi yang melibatkan kekuasaan sedemikian dalam menjerat orang-orang kepercayaan di lingkaran kekuasaan baik di Partai Demokrat maupun pemerintahan.
Karena jadi "kutukan", ingatan 10 tahun pemerintahan Presiden SBY terlekat pada banyaknya kasus korupsi di periode kedua yang merontokkan dukungan kepada Partai Demokrat yang didirikannya dan di Pemilu 2009 sempat jadi juara pertama.
Periode kedua Jokowi tampaknya ada dalam fase ini. Tanda-tanda tidak langsung sudah banyak didapati. Mural menghiasi tembok tua di sisi timur Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Mural ini berisi ajakan kepara rakyat untuk terus bekerja di tengah kondisi negara yang tidak bisa diharapkan. Difoto tahun 2010, tembok tempat mural ini sudah dirobohkan.(Kompas/Wisnu Nugroho)
Pesan tembok sisi timur Pasar Beringharjo berisi mural sepuluh tahun lalu yang sudah dirobohkan kini menguat lagi.
Kasus korupsi mulai masuk pemerintahan dengan ditangkaptangannya seorang menteri yang juga wakil ketua umum partai koalisi.
Kasus ini tidak diselesaikan dengan cekatan dan meyakinakan tetapi malah diberi puja dan puji serta dimaklumi. Sebuah skandal yang memilukan.
Dunia internasional yang semula menaruh harapan akan Indonesia saat Jokowi memerintah di periode pertama karena berasal dari rakyat dan dekat dengan rakyat, mulai berpikir ulang dan menilai adanya kemerosotan dalam praktik demokrasi.
Di awal periode kedua dan di era pandemi, perlawanan pelajar, mahasiswa, buruh dan elemen masyarakat sipil menemukan simpul-simpulnya. Foto karya fotografer Kompas.com, Garry Andrew Lotulung yang viral di media sosial dan aplikasi pesan percakapan, mengabadikan momen seorang pemuda yang diketahui berinisial LA saat aksi pelajar di belakang Gedung DPR/MPR, Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (25/9/2019) lalu.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)
Belum terlihat ada tanda-tanda simpul-simpul ini berhasil memang. Ini tidak menjadi persoalan karena kesadaran bahwa Roma tidak dibangun dalam semalam.
Kekecewaan yang terkumpul dari hari ke hari dan perlahan-lahan adalah kekuatan yang bekerja dalam diam. Pelan.
Penyidik KPK yang bekerja dalam diam berkali-kali sudah membuktikan.
Kerja dalam diam kali ini mengejutkan dan memberi harapan meskipun tidak bagi kekuasaan. |
--
Click Here to unsubscribe from this newsletter.