Hai apa kabarmu? Semoga kabarmu baik di tengah banjir yang menggenangi banyak sekali rumah, bangunan, kawasan bisnis dan jalan-jalan di Jakarta, Tangerang, Bekasi serta kota-kota lain.
Kita masih ingat hujan lebat yang terjadi 19-20 Februari disertai dengan petir bersaut-sautan menjelang dini hari.
Di kompleks permahan tempat saya tinggal, petir yang bersahut-sahutan saat hujan lebat membunyikan alarm mobil-mobil. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.
Hujan lebat yang merata ini disinyalir sebagai penyebab banjir Sabtu pagi, khususnya di Jakarta. Intensitas hujan mencapai 150-226 milimeter dan masuk kategori ekstrem.
Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, hujan lebat di Jakarta akan kembali terjadi pada 24-26 Februari. Bali dan Nusa Tenggara juga diperkirakan akan hujan lebat di periode waktu itu. Ilustrasi hujan petir (Wavebreakmedia Ltd) Atas peringatan ini, baik jika kita bersiap-siap. Mereka yang pernah mengalami banjir, tahu bagaimana repotnya dan karenanya tahu bagaimana harus bersiap-siap alias siaga.
Kita melihat solidaritas antarwarga tumbuh karena banjir ini. Keinginan saling membantu nyata dan hadir begitu saja tanpa terpaksa.
Rumah warga yang bebas banjir dibuka sebagai tempat pengungsian sementara. Rumah ibu saya di Cijantung, Jakarta Timur, jadi tempat beberapa keluarga yang mengungsi.
Sabtu dini hari, warga bahu-membahu untuk mengatasi kesulitan di depan mata sambil menunggu air surut. Senin dini hari, banjir yang merendam sejumlah kawasan di Jakarta surut.
Solidaritas nyata ini jadi kabar gembira di tengah pertikaian tanpa akhir di media sosial soal siapa yang paling bertanggung jawab atas banjir yang melanda.
Jakarta banjir bukan cerita baru. Wilayah di muara, dialiri 10 sungai besar dengan sistem drainase yang kurang memadai ditambah kebiasaan buruk warga membuang sampah adalah kombinasi penyebab banjir dari masa ke masa.
Dengan kondisi seperti ini, hujan yang di desa-desa disyukuri sebagai berkah dari langit untuk bumi menjadi sumber ketakutan bagi warga kota seperti Jakarta. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meninjau kawasan terdampak banjir di Jalan Taman Kemang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada Minggu (21/2/2021) siang.(KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO) Ketakutan ini mewujud Sabtu pagi saat hujan reda. Lebih dari 26 titik banjir terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Kemang sebagai pusat hiburan dan ekonomi Jakarta Selatan berubah jadi lautan dengan air kecoklatan.
Banyak acara batal karena kekacauan yang ditimbulkan banjir. Beberapa yang tidak bisa dibatalkan tetap dilangsungkan dengan penuh perjuangan.
Pernikahan yang sudah dipersiapkan salah satunya. Minggu lalu, kita mendapati video pengantin yang dikeluarkan dari gang yang terendam banjir sekitar satu meter.
Pernikahan yang akan selalu dikenang. Untuk pasangan yang menikah, situasi ini akan pasti menjadi penguat saat menghadapi situasi-situasi sulit lainnya. . (Thinkstockphotos)
Selain soal banjir yang akan berulang kisahnya dan kita menjadi terbiasa juga, minggu lalu kita dikejutkan dengan video viral membanjirnya 176 mobil baru di Desa Sumurgeneng.
Karena banyaknya, mobil yang didatangkan dengan digendong truk towing dari Gresik dan Surabaya secara bersama-sama itu dikawal polisi.
Desa Sumurgeneng terdapat di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Warga desa bersama-sama membeli mobil baru dan tidak cuma satu karena baru mendapat pencairan ganti rugi atas tanah.
Dari 840 keluarga di Desa Sumurgeneng, 225 keluarga melepas tanah mereka untuk proyek Pertamina-Rosneft berupa grass root refinery.
Dengan harga per meter Rp 600.000-Rp 800.000, rata-rata warga mendapat Rp 8 miliar sebagai hasil penjualan tanah.
Mobil menjadi pilihan hampir semua warga lantaran mendadak memiliki uang dalam jumlah sangat besar.
Adalah Tain (38), warga Desa Sumurgenen, yang membuat video, mengunggah di akun Facebook dan kemudian viral hingga mancanegara. Tain, warga Dusun Pomahan, Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, sosok yang mengunggah video truk towing membawa mobil baru ke desa setempat. (SURYA/M SUDARSONO) Berbeda dengan warga desa lainnya, Tain yang menjual tanah dan mendapat Rp 9,7 miliar tidak membeli mobil. Tain memilih menabung dan membeli tanah lain dengan uangnya.
Oya, kalau kamu yang tiba-tiba dapat uang sebanyak itu, apa yang akan kamu lakukan? Saya sendiri bingung karena tidak terbayang dari mana ketiba-tibaan itu akan datang. Hihihihi...
Buat kamu yang punya peluang mendapatkan ketiba-tibaan itu, baik bersiap. Tidak hanya di Desa Sumurgeneng, Tuban ternyata. Di beberapa daerah hal serupa juga terjadi.
Di Desa Kawungsari, Kuningan, Jawa Barat, warga yang mendapatkan uang penjualan tanah untuk Waduk Kuningan memborong kendaraan bermotor.
Sejak pertama pencairan penjualan tanah, sudah sektiar 300 kendaraan bermotor baru dibeli warga. Kendaraan itu mulai dari sepeda motor sampai mobil.
Terlepas dari bagaimana kritik kita untuk penggunaan uang hasil penjualan tanah, kabar baik terselip di sini. Menjual tanah untuk proyek negara tidak masuk dalam katergori rugi.
Dua kasus di Desa Sumurgeneng dan Desa Kawungsari menjelaskan hal ini. Tidak ada ganti rugi tetapi ganti untung yang terjadi. Trase Tol Solo-Yogyakarta-NYA Kulonprogo (Jasa Marga)
Cerita ganti untung macam ini hampir tidak ada di era-era sebelumnya. Dengan masifnya pembangunan yang dikerjakan pemerintah, akan muncul kisah-kisah serupa di berbagai tempat tampaknya.
Di tanah leluhur saya di Desa Kapungan, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah cerita serupa mulai muncul.
Tanah yang dijual untuk pembangunan Jalan Tol Solo-Jogja sudah dalam proses pembayaran. Keceriaan tergambar di wajah warga desa yang tanahnya dibeli pemerintah dan lancar proses pembayarannya.
Tidak ada ganti rugi tetapi jual untung.
Tetapi, apa itu rugi, apa itu untung jika hidup adalah keseluruhan. Hidup adalah rangkaian seluruh kejadian, bukan potongan-potongan.
Karena rangkaian keseluruhan kejadian, apa yang dirasa sebagai kerugian hari ini bisa jadi merupakan keuntungan bagi hidup secara keseluruhan.
Sebaliknya pun demikian. Salam sadar,
|
--
Click Here to unsubscribe from this newsletter.