Hai, apa kabarmu? Semoga kabarmu baik karena anugerah kesehatan di pengujung Ramadhan 2021.
Sebulan penuh umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah dalam suasana yang berbeda.
Tahun lalu, kita mengalami hal yang lebih sama. Namun, tahun ini suasanya berbeda.
Tahun lalu, larangan mudik lebih dipatuhi karena kekhawatiran kita begitu tinggi akan penyebaran virus Covid-19 yang belum banyak kita ketahui.
Tahun ini, larangan mudik seperti membentur tembok. Mungkin karena kejenuhan yang menumpuk. Mungkin karena perasaan lebih aman lantaran vaksin dan klaim kemampuan pemerintah mengendalikan.
Memang banyak yang sadar tidak mudik karena mempertimbangkan kesehatan, keselamatan dan kehidupan bersama yang lebih baik. Namun, banyak juga yang mengabaikannya dan nekat karenanya. Pemudik sepeda motor terjebak kemacetan saat melintasi posko penyekatan mudik di Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (11/5/2021) dini hari. Petugas gabungan memutar balikan ribuan pemudik yang melintasi pos penyekatan perbatasan Bekasi -Karawang, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras.(ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)
Rombongan pemudik beberapa kilometer panjangannya yang memaksa melintas di tengah larangan adalah gambaran ketidakpatuhan. Sebuah cermin yang membahayakan.
Polisi dan aparat keamanan kemudian mengambil diskresi untuk meloloskan lantaran menghindari kerumuman. Pemeriksaan di pos berikutnya jadi andalan pencegahan. Semoga benar-benar dilakukan.
Jika ternyata tidak dilakukan dan diloloskan sampai kampung halaman, bagaimana sikap kita menghadapi situasi seperti ini?
Sebelum sampai bagaimana seharusnya sikap kita, data yang dihimpun Kepolisian Republik Indonesia bisa jadi acuan.
Polri melakukan tes acak terhadap masyarakat yang melakukan perjalanan selama larangan mudik. Datanya, 4 dari 6 terdeteksi positif Covid-19. Angka persisnya, dari 6.742 yang diuji secara acak, 4.123 di antaranya positif Covid-19. Calon penumpang melakukan tes Antigen atau GeNose di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Senin (3/5/2021). Per 1 Mei 2021, tercatat sudah ada lebih dari 6.000 calon penumpang yang akan diberangkatkan dengan keberangkatan didominasi oleh penumpang ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya Malang dan Surabaya.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)
Dari data yang mencengangkan ini, 1.686 orang direkomendasikan untuk isolasi mandiri dan 75 orang dirawat di rumah sakit. Penjelasan berhenti di sini. Tidak jelas sisa 2.362 orang positif diapakan. Klarifikasi tidak diberikan.
Anggap saja, data ini benar. Ada 2.362 orang positif Covid-19 ini bisa melanjutkan perjalanan sampai kampung halaman.
Bagaimana sikap kita sekarang menjadi terang benderang. Benteng pertahanan terakhir kini ada pada diri kita masing-masing.
Terbiasanya kita berjuang sendiri-sendiri mengatasi semua persoalan termasuk ancaman kesehatan dan keselamatan akan mendapat ujian lagi.
Saat Idul Fitri, tidak bersalaman dengan para pendatang meskipun dia kerabat atau keluarga dekat adalah langkah pencegahan yang mujarab. Data acak 4 dari 6 pelaku perjalanan positif Covid-19 kita jadikan acuan kehati-hatian.
Selain tidak salaman, jangan lelah menerapkan disiplin protokol kesehatan. Selalui memakai masker secara benar, menghindari kerumunan dan senantiasa menjaga jarak aman agar tidak tertular virus dari droplet.
Pengalaman yang dialami India April lalu yang berlarut-larut sampai hari ini setidaknya dapat kita jadikan pegangan untuk pencegahan. Umat Hindu berendam di Sungai Gangga selama Kumbh Mela, atau festival kendi, salah satu ziarah paling suci dalam agama Hindu, di Haridwar, negara bagian utara Uttarakhand, India, Senin (12/4/2021).(AP PHOTO/KARMA SONAM)
Perasaan lebih aman karena pengendalian Covid-19 di India membuat situasi berangsur-angsur normal. Pernikahan digelar dengan undangan ratusan orang tanpa protokol kesehatan.
Pasar tradisional ramai dan membeludak. Demonstrasi dilakukan di jalan-jalan diikuti ribuan orang. Sekitar satu juta orang hadir bersamaan dalam mandi massal untuk acara keagamaan. Semua dilakukan tanpa protokol kesehatan.
Hasilnya, tsunami Covid-19 terjadi di India 15 hari kemudian. Data positif Covid-19 dan korban meninggal selama setahun di India langsung dilampaui dalam waktu 15 hari saja. Layanan kesehatan dan kematian tumbang.
Keteledoran menjadi penyebab gelombang kedua di India lebih mematikan. Selain karena varian virus baru, skala penyebaran lantaran masyarakat sebelumnya merasa aman lantas tidak patuh menjadi ancaman mematikan. Warga berbelanja di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (11/5/2021). Meskipun masih dalam masa pandemi Covid-19, pasar tradisional hingga pasar swalayan ramai dipadati pengunjung yang hendak berbelanja berbagai kebutuhan untuk Lebaran.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)
Kita punya potensi yang sama dengan India karena tanda-tandanya nyata. Keteledoran bukan khas India tetapi kita juga mewarisinya. Varian baru virus juga sudah masuk ke Indonesia.
Ketidakpatuhan atas banyak hal dengan berbagai alasan juga kita jumpai di banyak tempat dengan beragam skala.
Ketidakpatuhan warga pada otoritas adalah tanda bahaya untuk pemegang kekuasaan sejatinya.
Kepekaan melihat tanda-tanda ini perlu dipertajam bukan malah dipertumpul oleh hadirnya banyaknya ring atau lingkaran pada kekuasaan yang membuat pemilik otoritas justru imun.
Imun memang bagus, tetapi tidak untuk situasi seperti saat ini yang justru membutuhkan kepekaan-kepekaan. Tangkapan layar YouTube Kementerian Perdagangan saat pidato Presiden Jokowi menyebut Bipang Ambawang (screenshoot)
Oya, soal kepekaan dan lingkaran pada kekuasaan, saya jadi ingat soal Bipang Ambawang.
Tanpa peran lingkaran pada kekuasaan yang menari-nari ke sana dan ke sini dan cenderung salah arah, saya tidak tahu apa itu Bipang Ambawang.
Semoga salah arah tidak terus-teruskan dan segera bisa putar balik tanpa perlu dipaksa putar balik seperti layaknya para pemudik.
Salam putar balik,
Download aplikasi Kompas.com dengan klik banner di bawah ini untuk mendapatkan update berita terbaru di ponsel Anda. |
--
Click Here to unsubscribe from this newsletter.