Hai, apa kabarmu?
Semoga kabarmu baik karena karunia kesehatan dan hal-hal baik lain yang mengikuti.
Setahun persis kita lalui sejak seruan bekerja dari rumah, berlajar dari rumah dan beribadah di rumah disampaikan, 15 Maret 2020 lalu.
Situasi pandemi Covid-19 dengan ancaman kesehatan yang nyata membuat pemerintah, waktu itu Presiden Joko Widodo tampil ke muka. Ia menyerukan ajakan yang kemudian dikenal secara generik sebagai work from home atau WFH.
Apa yang berubah setelah setahun kamu memulai kebiasaan sama sekali baru dan melewatinya? Apakah kebiasaan baru yang baik karena dorongan pandemi sudah ringan kamu lakukan tanpa terpaksa? Musisi Jason Ranti saat ditemui di studio lukisnya di Jakarta, Jakarta Selatan, Jumat (19/2/2021). Melukis salah satu hobi yang dilakukan Jason Ranti selain bermain musik.(KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO) Terkait menjaga kesehatan dan mencegah tertular virus misalnya. Apakah memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun sudah jadi kebiasaan?
Apakah penerapan protokol kesehatan itu kita lakukan begitu saja karena memang baik untuk diri kita bukan karena ada ancaman otoritas lain?
Saya berharap kebiasaan yang mulanya terpaksa kita lakukan, setelah setahun menjadi ringan tanpa paksaan kita lakukan.
Setahun adalah waktu yang cukup untuk mengubah dan membentuk kebiasaan baru. Menurut beberapa penelitian, jika dilakukan berulang-ulang, rata-rata dibutuhkan waktu 66 hari untuk mengubah kebiasaan atau membetuk kebiasaan baru itu.
Selain soal kesadaran pentingnya kesehatan dan tercermin dalam penerapan protokol kesehatan, setahun WFH mengubah banyak hal buat saya. Beberapa teman yang saya konfirmasi juga mengalaminya. Ilustrasi WFH.(fully.com)
Kantor dan bagaimana bekerja misalnya, tidak lagi saya pahami seperti sebelum pandemi. Karena WFH, kebutuhan ruang kantor seperti sebelumnya untuk bekerja berkurang drastis.
Karena itu, perubahan saya lakukan untuk organisasi yang dinamis ini. Sebelum pandemi saya menyewa 145 ruang kerja untuk tim redaksi Kompas.com. Sejak Juli 2020 lalu, saya revisi kebutuhan itu menjadi hanya menyewa 45 ruang kerja saja.
Bekerja remote atau masuk dalam istilah generik WFH sudah kami lakukan jauh sebelum pandemi. Sekitar 60 persen pekerjaan kami lakukan secara remote. Pandemi memungkinkan perluasannya menjadi hingga 90 persen.
Untuk beberapa hal, perubahan ini menggembirakan lantaran tidak ada penurunan produktivitas. Teman-teman satu tim bisa lebih banyak punya waktu dan dekat dengan keluarga.
Beberapa editor yang sebelumnya merantau dan terpisah dengan keluarga memilih "pulang kampung" dan bekerja dari sana setahun terakhir. Pandemi memungkinkan hal ini.
Baiknya jaringan internet di banyak "kampung halaman" memungkinkan hal ini terjadi tanpa banyak kendala.
Untuk rekrutmen tim baru, lokasi tempat tinggal tidak lagi jadi masalah. Bahkan, karena pandemi, syarat untuk penerimaan anggota tim adalah bisa bekerja remote dari mana saja. Kabar baiknya, jumlahnya banyak dan karenanya relatif mudah mendapatkannya.
Ini sejumlah hal baik yang saya jumpai karena pandemi dan saya syukuri. Bukan tidak ada hal tidak menyenangkan yang dibawa pandemi. Banyak.
Jika mau dirinci, kita bisa lomba banyak-banyakan daftar keluhan. Tetapi, buat apa? .(SHUTTERSTOCK)
Saya yakin, kesulitan dan keluhan bukan saya saja yang punya. Bahkan, ketika usaha sudah kita lakukan sepenuhnya, hasil kerap tidak susai harapan dan memunculkan keluhan dan kesulitan juga.
Mendapati kekecewaan yang manusiawi ini, apakah lantas kita berkutat pada keluhan dan kesulitan? Apakah lantas kita menyurutkan usaha baik? Apakah lantas kita memutus harapan?
Perjumpaan dengan Deny Kurniawan meneguhkan sikap untuk tidak berkutat pada keluhan dan kekecewaan. Juga ketika mendapati hasil tidak sebanding dengan usaha keras yang sudah kita kerjakan.
Deny adalah penarik becak di Pondok Cipta, Bintara, Bekasi, Jawa Barat.
Pandemi membuat pelanggannya seperti anak sekolah dan ibu-ibu pengajian hilang. Aktivitas sekolah dan ibadah semua dipusatkan di rumah. Jasa becaknya tidak ada penyewanya.
Mencoba bertahan hidup untuk menghidupi istri dan tiga anaknya di Bogor, Deny kerja serabutan. Bukan mengeluh dan membuat daftar ratapan.
Pilihannya menjadi penggali got dan gorong-gorong ditetapkan karena tidak ada saingan. Tidak ada orang yang mau mengerjakan, termasuk petugas digaji dengan pajak kita untuk memastikan itu semua. Deny dan tim yang kemudian menyebut diri Tim Markesot (Mari Kita Ngesot) tidak ada saingan.
Meskipun tidak ada saingan, bukan berarti Deny bisa menetapkan tarif semena-mena demi keuntungan semata.
Tarif ditentukan kesepakan warga yang biasanya urunan untuk menyelesaikan problem got dan gorong-gorong mampet penyebab banjir.
Berapa pun hasil urunan warga, Deny menerima. Perasaan kecewa karena hasil yang didapat tidak mengikuti usaha kerasnya kerap muncul juga. Namun, Deny sadar, warga juga kesulitan dalam hal keuangan juga.
Dari Deny, saya belajar soal ikhlas. Keyakinan saya semula bahwa hasil tidak pernah mengkhianati usaha saya revisi mendapati pengalaman harian Deny yang tak terbantahkan.
Jika menilik lebih dalam, kenyataan hidup kita mengonfirmasi keyakinan ini juga. Banyak hal terjadi di luar kemampuan kita mengendalikan.
Ketidakpastian nyata di sekitar kita, termasuk relasi antara usaha dan hasil tadi. Ikhlas atas setiap usaha, apapun hasilnya adalah cara bersikap yang tepat.
Spiritualitas orang biasa seperti dihayati Deny Manusia Got menyadarkan saya.
Pengalaman berkesadaran dari Deny Manusia Got ini bisa kamu simak jika ada waktu dan kuota di program Beginu S2 Eps2.
Oya, program Beginu yang sudah masuk Season 2 merupakan buah pandemi. Pekerja seni Soleh Solihun dan Pemimpin Redaksi Wisnu Nugroho untuk program Bukan Beginu Bukan Begitu Episode Pertama yang pengambilan gambarnya dilakukan Senin (26/10/2020) di Studio Bendera, Menara Kompas, Jakarta.(kompas.com)
Season 1 berisi 15 percakapan dengan teman-teman seperjalanan sudah tayang sejak 28 Oktober 2020. Percakapan dengan Soleh Solihun menjadi pembukanya.
Season 2 Eps1 menghadirkan percakapan saya dengan musisi indie Jason Ranti. Saya yakin, kamu dan banyak teman-temanmu tidak tahu siapa musisi woyo ini.
Tidak mengapa dan tidak harus tahu juga jika tidak tertarik atasnya.
Di tengah keterbatasan dan banyaknya pembatasan karena pandemi, siasat dan upaya-upaya baik perlu kita lakukan.
Soal hasilnya, kita ikhlaskan saja. Jika baik hasilnya, mari kita hayati sebagai efek saja, bukan tujuannya.
Karena pandemi, saya semakin sadar, banyak hal terjadi di luar kendali kita.
Salam ikhlas,
Follow Instagram @my.kindoflife dan kirim contoh tulisan tangan kamu via DM. Temukan jawabannya dan raih kesempatan memenangkan saldo uang elektronik sebesar Rp 300.000 untuk 3 orang pemenang. |
--
Click Here to unsubscribe from this newsletter.